Text
"Katjang Tjina" dalam kuliner nusantara
Tahukah bedanya Pecel dan Pecak? Samakah Pecel Ayam dan Pecel Lele? Apa hubungan Rujak Cingur dan Pecel Sayur? Kenapa pecel mudah 'selingkuh' dengan kuliner lain? Buku ini akan membawa kita menelusuri etimologi kata pecel dari para tukang pecel masa lampau dalam prasasti dan Kakawin Jawa Kuno, lalu bersama Cebolang menelusuri pecel desa, kampung, dan kota Serat Centhini yang ditulis pada abad 19. Demi menikmati sepincuk pecel beralaskan daun pisang atau jati dari Mbok Pecel keliling dengan bakul rinjing di punggungnya di Stasiun Cornelis Batavia, 1919 hingga disajikan dengan piring plastik di abad 21. Sembari membincang kacang tanah yang menjadi bumbu inti pecel sayuran yang menyehatkan ini
Buku ini sangat cocok bagi mereka yang gemar makan pecel dan gado-gado, sebagai pelengkap pada kecintaan mereka atas kedua hidangan tersebut. Cocok pula bagi masyarakat umum yang ingin tahu kisah unik dan menarik di balik dua hidanga yang sangat populer ini."
Robby Sunata
Penggiat Sejarah, Penggagas Komunitas Sahabat Cagar Budaya Palembang
Kita memiliki pusparagam cita rasa Nusantara, namun miskin akan narasi-narasinya. Setiap santapan sejatinya memiliki narasi yang memperkaya sanubari kita. Berkat pencarian-pencarian seperti kisah dalam buku ini, cita rasa pun bisa mengajarkan kita untuk menginsafi tentang makna dari perjalanan dan perjumpaan damai pada masa silam. Saya pikir, makna inilah yang melahirkan siapa sejatinya orang Indonesia.
Mahandis Yoanata Thamrin
Managing Editor National Geographic Indonesia dan Editor in Chief Intisari
Buku tentang pecel, pecak dan rujak ini sangat menarik, penulis telah mengajak pembaca menelusuri sejarah panjang hidangan yang banyak dinikmati oleh masyarakat mulai dari yang tingkat atas sampai bawah ini. Sejarah menunjukkan adanya akulturasi bahan olahan yang tidak hanya diambil dari Nusantara, tapi juga diperoleh dari negara di luar seperti 'Katjang Tjina'. Pengajar sekolah culinary, Petrini mengatakan, "Food history is as important as a baroque church. Governments should recognize cultural heritage and protect traditional foods." Buku ini telah melaksanakan harapan itu.
Prof. Esther H. Kuntjara, Ph.D.
Founder of the Center for Chinese Indonesian Studies Universitas Kristen Petra, Surabaya.
Ary Budiyanto status saat ini dosen Antropologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, Malang, ia memperoleh gelar Master di bidang Agama dan Studi Budaya di Pusat Studi Agama dan Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Serta pernah mencoba menempuh S3 ICRS dan IIHSejarah di universitas yang sama. Dia adalah salah satu pendiri Pusat Studi Kebudayaan dan Laman Batas (CCFS) di Universitas Brawijaya. Dia tertarik dengan isu-isu agama dan studi lintas budaya, terutama terkait dengan budaya Peranakan, Islam, Buddhisme, dan Jawa di Indonesia dalam perjumpaannya dengan 'modernitas' lewat kajian studi visual, material, dan makanan (food studies).
Tidak tersedia versi lain